Jumat, 20 Agustus 2010

Lembur Sunda di Tengah Kota

DATANGLAH ke kawasan Pasirluyu Kec. Padasuka Bandung. Yang akan kita temukan adalah kemacetan di perempatan jalan tak jauh dari Terminal Cicaheum. Angkot dan berbagai kendaraan berjejalan di situ, termasuk ojek dan para pejalan kaki, serta pemandangan di antara perumahan penduduk yang padat. Akan tetapi, beberapa meter dari tepi jalan, sebuah ruang seolah memisahkan dirinya dari kekinian kota besar dengan segala suasananya yang serbalembur. Tak hanya bangunan, tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Dari musik, pertunjukan, hingga kaulinan Sunda.

Inilah Saung Angklung Udjo (SAU), terletak di kawasan Pasirluyu Kec.Padasuka Bandung. Berbeda dengan suasana di sekelilingnya yang macet dan hiruk pikuk, terlebih lagi letaknya yang tak jauh dari Terminal Cicaheun, bisa dikatakan SAU adalah lembur Sunda di tengah kota. Tempat yang tak ubahnya oase, tempat orang barang sejenak keluar dari kebisingan dan hiruk pikuk. Oase di mana orang bisa menemukan kenyataan yang berbeda dari sekelilingnya sebagai sebuah simulakra (kenyataan palsu), sebagaimana hakikatnya pariwisata.

SAU didirikan tahun 1967 oleh seniman Sunda terkenal Udjo Ngalagena (1929-2001). Lebih dari sekadar tempat untuk orang menyaksikan pertunjukan angklung, SAU juga dikemas untuk menjadi replika lembur Sunda. Replika inilah yang menjadi simulakra yang mengundang daya tarik orang, terutama para turis asing, untuk bersentuhan dengan berbagai pengalaman baru yang berhubungan dengan seni dan budaya tradisi Sunda. Suatu strategi yang menarik karena pada masanya Udjo telah berpikir ihwal pariwisata sebagai industri pengalaman.

SAU dengan lembur Sundanya membawa orang datang bukan untuk mengonsumsi sesuatu, tetapi untuk merasakan berbagai sensasi pengalaman baru. Terutama bagi orang-orang asing, mereka tak hanya disuguhi berbagai pertunjukan tradisional Sunda, tetapi juga diajak bermain angklung. Mereka juga diajak menyaksikan anak-anak tampil dalam suasana kegairahan khas eksotisme lembur Sunda sembari berinteraksi dengan mereka, termasuk ikut menari.

Inilah simulakra yang dikemas menjadi industri pe-ngalaman itu. Akan tetapi, SAU tak cuma menjadi ruang tempat seni, budaya, dan lembur Sunda dikemas dalam konotasi yang komersial, melainkan juga menjadi bagian dari kehendak melakukan praktik strategi budaya yang selama ini lebih sering hanya menjadi wacana alias dabrul. Di tempat inilah tak henti-hentinya dijelaskan sembari dibuktikan bahwa angklung adalah seni budaya milik Indonesia. Begitu juga seni budaya tradisional lainnya yang sering diaku-aku oleh bangsa lain.

Dengan pola manajemen pengelolaan yang profesional, SAU kiranya telah menjadi tempat satu-satunya di Bandung yang menjadikan seni budaya tradisi sebagai tontonan, sekaligus menjadi ruang pengalaman baru bagi orang-orang asing. Di tempat inilah wajah lembur Sunda dengan segenap eksotisme seni budayanya ditampilkan. Di tempat ini pula komunitas yang terdiri atas anak-anak muda berlatih dan mengolah dirinya, dari mulai pertunjukan hingga mengolah dan memproduksi angklung, sebuah kebersamaan khas lembur. Inilah yang membedakan SAU dengan Taman Budaya Jawa Barat atau ruang publik seni lainnya yang diurus oleh pemerintah, yang lebih disibukkan oleh birokrasi ketimbang program dan profesionalisme kerja. (Ahda Imran)***

Pikiran Rakyat

Tidak ada komentar: